Jogja Kembali (Lagi) -- Part 1


Jogja sebutan umum Yogyakarta memang kota yang menarik untuk dikunjungi. Keaslian budaya yang masih dipegang kuat seperti penulisan nama jalan dengan huruf jawa (aksoro jowo), batik yang melengkapi segala macam pernak-pernik kehidupan, dan kuliner tradisional yang terjaga rasanya membuat kota ini menarik untuk dikunjungi.

Setelah 4 kali mengunjungi Jogja dengan teman jalan berbeda saya pun mendapat pengalaman yang berbeda tentang kunjungan saya terakhir minggu lalu selama 3 hari dari tanggal 20 September sampai 22 September. Kunjungan pertama saya lakukan bersama teman-teman SMP hampir 15 tahun yang lalu, standarnya kami mengunjungi Candi Prambanan, Candi Borobudur, dan Jalan Malioboro. Karena acara dilakukan beramai-ramai dengan teman sekelas maka tidak ada yang terlalu berkesan di sini. Saya buta arah tapi selalu ada guru pendamping yang membantu. Tipikal liburan rame-rame anak sekolahan. 

Kunjungan kedua masih bersama teman-teman SMA, 4 tahun kemudian kali ini kami mengunjungi Pantai Parangtritis, Kaliurang, dan Jalan Malioboro tanpa candi. Pengalaman yang tak terlupa tentu saja foto-foto dengan bule yang super norak jika diingat kembali tapi sudahlah. Liburan kala itu juga tidak berkesan.  

Kunjungan ketiga saya mengunjungi teman yang kuliah di sana untuk 2 hari saja. Pengalaman baru bagi saya karena saya naik bus cepat dari Surabaya ke Jogja sendiri dan hanya mengandalkan jemputan teman di terminal Giwangan – Jogja. Kesan yang mendalam dari kunjungan singkat yang ketiga adalah : makanan murah dan jalanan yang membingungkan, semua tampak sama.

Saya, tidak nampak di gambar.
Ada kakak, Papa, teman kakak dan ibunya
Ajiiib rame-rame
Kunjungan keempat saya lakukan bersama keluarga, bersama kakak dan ayah saya. Kali ini terasa spesial karena ini adalah liburan kami yang pertama setelah ibu meninggal. Kawan kakak saya tinggal di Jogja dekat daerah Kotagede kemana-mana kami selalu diantar, jadi rasa petualangan tidak terlalu dominan. Tetap saja kami mencoba beberapa hal baru. Tujuan pertama  kami pergi makan di warung gudeg Mbarek Hj. Ahmad di daerah UGM. Bukan warung tepatnya rumah makan. Penuh tanda tangan artis dengan harga seporsi nasi gudeg yang membuat saya ingin kabur tidak membayar he he he. Hebatnya gara-gara gudeg Yu Djum saya jadi cinta gudeg. Sebelumnya saya selalu anti gudeg. Kami mengunjungi Candi Prambanan dan saya tidak membayar biaya kamera, saya lupa berapa bayarnya. Saya sembunyikan kamera di tas..kamera saja kok ya kena pajak. Kami juga mengunjungi Candi Borobudur. Kami mengunjungi keraton Jogja dan selanjutnya seperti biasa jalan-jalan di beberapa tempat belanja di Jogja.
Saya dengan dandanan jadul bersama
abdi dalem Keraton


Kunjungan kelima saya pergi bersama kakak dan pacar saya (saat ini sudah mantan). Seperti biasa destinasi awal adalah urusan perut. Jadi kami ke depot gudeg Hj. Ahmad lagi. Dilanjut foto-foto di depan kampus UGM. 

Agar tidak terlalu "gosong" ketika mengunjungi Borobudur kami langsung berangkat menuju candi Buddha terbesar itu. Kami melewati Candi Mendut dan berdecak kagum sejenak sebelum lanjut ke Candi Borobudur. Capek mengitari candi perut harus diisi. Kami pun mencoba kuliner khas dari restoran yang menjual semua makanan dari bahan jamur namanya “Jejamuran”. Rasanya enak  dan harganya bersahabat, ini yang T.O.P. Letaknya di Sleman, di luar Jogja sih. Tapi pasti dilewati dari Borobudur. Tinggal belok ke kiri dari perempatan. Wajib coba ya?
Pepes Jamur, Omelette Jamur, tongseng jamur...
Ada juga pertanian jamur yang bisa dilihat di restoran ini
Adalah kakak saya yang browsing soal restoran ini. Saya sudah lupa menu apa saja yang say apesan tapi es carica-nya luar biasa. Porsinya memang bukan porsi besar tapi mak nyuuus

Kami berusaha mengeksplor kota dengan melakukan lebih banyak kegiatan bersenang-senang. Tujuan utama pasti Kraton Jogja, pergi ke Pasar Beringharjo. Di keraton saya nonton pertunjukan tari dan duduk di tikar bersama para bule lain karena saya telat dapat kursi dengan spot yang bagus. Dengan terkadang menjulurkan kaki takut kesemutan saya bertemu pasangan bule dari Belanda. Si pria punya mata dengan kombinasi yang unik, ada warna kuning kecoklatan di sekeliling pupil matanya. Saya benar-benar takjub. Biasanya warna biru atau hijau atau coklat tanpa warna kuning kecoklatan yang pernah saya lihat. 

Malamnya, seolah bukan ke Jogja jika tidak ke Jalan Malioboro, saya dan kakak mencoba tato temporer seharga Rp. 30,000,-. Nantinya kami menyesal karena di Pasar Ampel - Surabaya harganya cukup Rp. 10,000,- saja. Artis tato-nya mirip Charlie ST 12, dan dia sadar akan kemiripannya wealah..... Setelah dari malioboro kami ingin mampir ke Angkringan Lik Man yang tersohor itu. Bukannya dapat Lik Man dapatnya Lik siapa gitu..lupa namanya. Angkringannya pun biasa saja tapi memang benar-benar ramaiiiiii.
Pada kunjungan terakhir kami berencana menikmati kuliner kegemaran Sultan Jogja di Bale Raos, apa daya saat itu Bale raos dibooking untuk pesta pernikahan. ya sudahlah…next time better.

Next time-nya pada kunjungan saya yang keenam, alias bulan September ini saya lakukan. Kali ini sangat special karena saya pergi bertamasya dengan pacar saya. Bukan karena keromantisan perjalanan kami yang sangat spesial, tapi pengalaman bersama pacar saya yang bule yang semakin membuka mata saya tentang kota Jogja. Cerita yang ingin saya bagikan lumayan panjang dan terlalu membosankan jika dimuat dalam satu posting saja. Jadi...silakan lanjut ke bagian selanjutnya ya? :D

Post a Comment

0 Comments

advertise