Jogja Kembali (Lagi) - Part 4

Sudah 3 bulan setelah kunjungan terakhir saya ke Jogja baru ada waktu lagi untuk meniuliskan ceita tentang kunjungan saya ke kota ini. Cerita bagian ke empat ini adalah cerita tentang pejalanan saya ke Keraton Jogja alias Sultan Palace, istana tempat Sultan Jogja bertempat tinggal.

Saya menginap di daerah Jogokaryan, di penginapan House 24. Untuk menuju ke pusat kota dari tempat saya tinggal lumayan "jauh". Untuk tipe orang yang suka naik kendaraan umum dan jalan kaki sih buat saya tidak masalah. Tetapi karena pacar saya tambun maka ia malas berjalan kaki jauh, kasihan juga bulir keringatnya mengucur deras di bawah terik matahari Jogja kala itu. akhirnya kami menggunakan angkutan bus kota yang berjalan super ngebut persis bus mini ijo juusan Mojokerto-Surabaya. Atau bisa dikata ini bus kota ukuran lebih kecil dari bus kota jurusan Kupang - Bungurasih dengan kecepatan yang sama. Wusssss....

Bus bisa dijangkau dengan mudah persis di jalan raya depan penginapan. Penginapan saya namanya House 24 persis di sebelah Hotel Seno. Saya naik bus kota dengan tujuan Keraton Jogja. Dari Jalan Jogokaryan jaraknya ditempuh hanya kurang dari 10 menit. Saya turun di Alun-alun. Saya kurang tahu Alun-alun Utara atau Selatan tempat saya turun. Karena sudah pernah mngunjungi tempat ini sebelumnya maka saya menggunakan kemampuan navigasi ala kadarnya untuk menemukan Keraton.

Jangan salah, bangunan mirip Keraton memang sudah terlihat dari jauh ketika saya turun di Alun-Alun (bus tidak berhenti tepat di depan Keraton), tetapi itu bukan bangunan utama Keraton yang sebenarnya. Saya membaca buku Lonely Planet milik pacar yang mewanti-wanti para turis supaya berhati-hati karena banyak scammers alias penipu di sana. Mereka akan menawarkan jasa menunjukkan arah Keraton tetapi turis diarahkan pada bangunan Keraton yang tidak dibuka untuk umum dan pemandu itu akan bilang bahwa Keraton masih tutup. Mereka akan mengajak turis berkeliling-keliling termasuk ke Museum Kereta Keraton. Sampai-sampai buku panduan LonelyPlanet mengingatkan bangunan yang asli adalah bangunan dengan jam bulat besar di halamannya. Kraton buka dari jam setengah delapan pagi dan tutup jam 4 sore.

LonelyPlanet 100% benar. Dari alun-alun mendekati bangunan Kraton saya sudah ditawari "penipu" yang mengatakan bahwa loket di dekat mereka. "Sini mbak loket Kratonnya bla bla bla bla" Saya terus berjalan mengikuti rombongan anak sekolah (yang mustahil ditipu oleh scammers). Memasuki gang kecil saya bersyukur tidak salah jalan. Apalagi setelah melihat Museum Kereta kencana di sebelah kanan saya, atinya saya memang sudah dekat dengan Keraton.

Sampai di halaman banyak bus parkir dan saya melihat jam bulat besar di halaman Kraton..."berhasil" pikir saya. Eh..sudah sampai pun masih ada yang berkata,"Kraton belum buka Mbak, ayo liha-lihat batik dulu, Museum Kereta b;la bla bla..Kraton buka jam 9 bla bla bla bla.." Whoaaaa masih nekad saja pikir saya. Saya menyeruak kerumunan pengunjung yang mayoritas anak sekolah. saya langsung menuju petugas tiket wisatawan internasional. Petugasnya berpakaian abdi dalem dan menyapa kami dengan banyak bahasa mulai Inggris, Prancis, dan sebagainya. Kereen. Saya membayar 13,000 Rupiah per pengunjung jadi berdua 26,000 saja. Plus saya dapat 2 stiker Kraton Jogja.

Masuk ke dalam kompleks Kraton inilah yang saya temukan :

Di bagian depan, persis ketika kita masuk dari pintu utama terdapat ukiran kepala "buto" kalau tidak salah disebut "kolo"
Fungsinya menakuti makhluk-makhluk jahat yang ingin mengganggu ketentraman pemilik rumah.
Lihatlah mata merah melotot dan lidah si monster yang menjulur menyeramkan.

Jika di masyarakat modern rumah diisi dengan peralatan audio visual canggih maka di dalam Kraton pun lengkap terdapat seperangkat gamelan yang diberi nama Kyahi Gunturmadu.
Lihatlah lantai yang berpola, itu bukan karpet permadani loh, melainkan ubin yang berpola cantik persis seperti motif pada permadani  ya?
Ini adalah bagian keraton tempat seperangkat gamelan disimpan. Gamelan tidak boleh dimainkan sembarang orang, termasuk pengunjung.
Ini adalah bangunan di pelataran depan. Selalu ada kolo dan lambang Kesulatanan Jogja di atasnya.
Ini saya berfoto di depan reco, alias arca dengan pentungan yang terletak di sisi kiri kanan bangunan pada gambar di atas. fungsinya sebagai penjaga. Besar dan seram sekali kan? Cocok lah untuk jadi penjaga pintu masuk wilayah kediaman raja. Niatan awal saya ingin berfoto sambil tersenyum, hasil jepretan saya berfoto sambil meringis menahan panas sinar matahari.

Benar-benar kedua arca mendapat keistimewaan, ada atap yang bisa melindunginya dari panas matahari dan guyuran hujan. Walaupun saya tidak mendapat sumber akurat untuk postingan kali ini tapi saya yakin arca-arca ini diperlakukan seperti benda hidup bernyawa sehingga sangat dijaga, dipelihara, dan diberi sesaji juga.




Ini adalah lambang kesultanan Jogja. Huruf pada lambang ini adalah huruf pertama pada aksara Jawa , "Ha (dibaca ho) sebagai inisial Raja Jogja Hamengkubuwono

Kolo bentuk lain yang dipasang di bagian atas pintu masuk ke ruangan lain


Ini salah satu bangunan favorit saya, sebuah gazebo yang peruntukannya saya kurang tahu. Yang jelas indah sekali.
Jika dilihat bagian kaca dilukis dengan gaya Eropa. percampuran budaya Barat agaknya ikut mempengaruhi bentuk gazebo ini. Jika saya perhatikan juga, bagian atapnya mirip dengangaya bangunan pagoda di Cina.


Di salah satu bangunan di dalam kompleks Keraton terdapat bangunan yang tidak bisa dimasuki oleh umum.
Salah satu bangunan yang saya foto hanya bagian depannya ini menunjukkan penjaga pintu sudah berubah dari arca buto yang seram menjadi singa yang masih seram dengan mata merah menyala. Singa membawa tameng yang dicengkeram dengan sikap siaga. Saya rasa pada bangunan ini budaya Eropa lebih mendominasi. Mungkin saja patung singa ini hadiah dari raja lain dari eropa atau dipesan khusus oleh Sultan pada jaman itu dari Eropa.
Di bagian belakang singa mengapit cermin besar bergaya Victoria juga terdapat 2 patung bergaya tentara Romawi yang ditempel di dinding.
Untuk cerminnya, entah mengapa dihadapkan ke arah jalan menuju bangunan ini, mungkin untuk menolak bala atau juga agar tamu berhias sebelum masuk ke dalam bangunan. Perhatikan juga lantainya ya? Batu pualam alias marmer yang awet bertahan ratusan tahun.
Mengingat saya berkunjung ke Keraton tanpa pemandu wisata jadi saya mengagumi dan berasumsi sebagai orang awam tentang seluk beluk Keraton. Coba perhatikan bagian ini. Tampak pilar bangunan yang indah ya? Terlihat tua tapi indah. berukir dan berbalur pahatan  daun-daun yang merambat. Sementara jika Anda perhatikan lagi pot bunga yang saya ambil fotonya adalah pot bunga yang sudah pecah kemudian kepingannya disatukan kembali. Bisa jadi pot-pot bunga dan guci di bagian bawah ini adalah hadiah dari kerajaan sebuah dinasti di Cina atau barang rampasan perang dari VOC atau pihak lain. Guci yang nampak di depan ini menurut saya berubah fungsi dari tempat air menjadi guci pot bunga. Pastinya barang-barang seperti pot dan guci di gambar saya yakin bukan buatan Indonesia.
Bagian lampu juga tak luput dari pengamatan saya. Penampakannya sangat tua, renta, dan sedikit lusuh. Semoga bisa bekerja dengan baik. Pertanyaannya kemudian, di tahun berapakah lampu-lampu ini dibeli dan dipasang? Pastinya saat itu sudah ada listrik bukan? Berarti mungkin saja usia lampu ini tidak setua yang saya bayangkan. Mungkin dipasang di tahun 70an.

Anda lihat bangunan di seberang itu? Bangunan itu termasuk yang tidak boleh dimasuki pengunjung. Saya memotret dari kejauhan. tampak asisten rumah tangga lebih modern, bercelana panjang batik, berblangkon, tapi berkaos merah.

Indah dan unik ya arsitekturnya? Magis bercampur artistik, menurut saya loh ya
Foto ini diambil tahun 2010 dan sama persis dengan foto terakhir yang saya ambil di tahun 2012.

Abdi dalem atau pegawai Kraton sedang membawa sesaji.  Tampaknya seperti sesaji :P

Keterangan lebih kanjut tentang sesaji yang saya ambil dari salah satu ruang di dalam Kraton Yogya

Salah satu bangunan seperti ruang penyimpanan yang tidak boleh dimasuki

Di salah satu bangunan katon terdapat bangunan khusus tempat penyimpanan alat masak dan peralatan makan. Di tempat ini terdapat guci air, filter air seperti tampak pada gambar, tea set dan berbagai perabot lain yang digunakan di dapur dan di meja makan. Di gambar adalah saya di tahun 2010 :)

Kentongan raksasa ini diletakkan di gerbang menuju Ruang penyimpanan (museum) batik dan ruang penyimpanan  lainnya

Meriam tua yang disimpan di kompleks Kraton Jogja

Pintu menuju ruang penyimpanan koleksi batik Sultan dan keluarganya

Silsilah salah satu Sultan Hamengkubuwono (saya lupa yang ke berapa)



Abdi Dalem sedang bertugas. ketika mengambil foto ini saya tidak sengaja nimbrung masuk ke kelompok lain. Sederhana sekali kan kantor administrasinya. Saya sebenarnya ingin bertanya banyak tetapi pemandu kelompok yang tidak sengaja saya ikuti lebih banyak mengatur pembicaraan. Yang jelas paara Abdi Dalem ini saat itu sedang mengatur jadwal masuk anggota.



Ini adalah replika Prajurit Patangpuluh. Ada beberapa kesatuan dalam keprajuritan di wilayah kekuasaan Sultan. Semoga posting lain waktu bisa memberikan ceritanya lebih lengkap.


Bangunan dekat pintu utama masuk kompleks Kraton ini adalah tempat digelarnya hiburan yang diadakan setiap hari mulai jam setengah sepuluh pagi. Untuk hari Jumat yang digelar macapat alias membaca cerita (babad) dengan melagukannay. Sementara jari Sabtu pertunjukan tari.


Pagelaran tari yang lakonnya sudah tidak teringat lagi. Foto ini diambil di tahun 2010 

Foto 2 penari cantik dari hari yang sama ketika saya berkunjung di tahun 2010

Di kunjungan terakhir pementasan yang saya saksikan adalah macapat. Penonton tidak mendapat cerita jadi hanya 15 menit saya dan pacar duduk, kami segera beranjak pergi. Para turis pun tidak semangat menonton berlama-lama. Pembaca cerita saat itu bapak yang sudah sepuh. Menurut keterangan ibu yang berfoto bersama saya ini, buku yang dibaca diambil dari perpustakaan dan usianya puluhan bahkan ratusan tahun. Setiap buku berisi cerita yang ditulis oleh Sultan dan masing-masing Sultan punya gaya bahasa dan penulisan sendiri sehingga membaca buku dan menyenandungkannya sangatlah sulit. Huruf Jawa (Aksara Jawa) yang tertuilis pun berbeda dengan yang dipelajari siswa sekolah saat ini. Tidak ada tanda baca dan tanda bunyi. 

Senang mengunjungi Kraton. Saya jadi ingin berkunjung lagi tetapi kali ini menulis dengan detail semua cerita dari setiap sudut Kraton. Entah berapa lama waktu yang saya butuhkan nantinya. Semoga terlaksana. Segala tulisan yang membantu posting ini akan saya terima dengan senang hati. Saya banyak berasumsi di tulisan kali ini karena keterangan yang saya dapatkan minim mengingat kedatangan saya tanpa pemandu. Next time better.

Post a Comment

0 Comments

advertise